A. ISLAM SEBAGAI DOKTRIN
Kata doktrin berasal dari bahasa Inggris doctrine yang berarti ajaran.[1] Dari kata doctrine
itu kemudian dibentuk kata doktrina, yang berarti yang berkenaan dengan
ajaran atau bersifat ajaran.
Selain kata doctrine sebgaimana
disebut diatas, terdapat kata doctrinaire yang berarti yang bersifat
teoritis yang tidak praktis. Contoh dalam hal ini misalnya doctrainare ideas
ini berrati gagasan yang tidak praktis.[2]
Studi doktrinal ini berarti studi
yang berkenaan dengan ajaran atau studi tentang sesuatu yang bersifat teoritis
dalam arti tidak praktis. Mengapa tidak praktis? Jawabannya adalah karena
ajaran itu belum menjadi sesuatu bagi seseorang yang dijadikan dasar dalam
berbuat atau mengerjakan sesuatu.
Uraian ini berkenaan dengan Islam
sebagai sasaran atau obyek studi doktrinal tersebut. Ini berarti dalam studi
doktrinal yang di maksud adalah studi tentang ajaran Islam atau studi Islam
dari sisi teori-teori yang dikemukakan oleh Islam.
Islam didefinisikan oleh sebagian
ulama sebagai berikut:
الإسلام وحي
إلاهي أنزل إلى نبي محمد صلى الله عليه وسلم لسعادة الدنيا والأخرة
(Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat).[3]
Berdasarkan pada definisi Islam
sebagaimana dikemukakan di atas, maka inti dari Islam adalah wahyu. Sedangkan
wahyu yang dimaksud di atas adalah Alqur`an dan Sunnah. Alqur`an yang kita sekarang dalam
bentuk mushaf yang terdiri tiga puluh juz, mulai dari surah al-Fatihah dan
berakhir dengan surah al-Nas, yang jumlahnya 114 surah.
Sedangkan Sunnah telah terkodifikasi sejak tahun tiga ratus hijrah. Sekarang ini kalau
kita ingin lihat Sunnah atau Hadis, kita dapat lihat di berbagai kitab hadis.
Misalnya kitab hadis Muslim yang disusun oleh Imam Muslim, kitab hadis Shahih Bukhari yang ditulis Imam al-Bukhari, dan lain-lain.
Dari kedua sumber itulah, Alqur`an dan Sunnah, ajaran Islam diambil. Namun meski
kita mempunyai dua sumber, sebagaimana disebut diatas, ternyata dalam
realitasnya, ajaran Islam yang digali dari dua sumber tersebut memerlukan
keterlibatan tersebut dalam bentuk ijtihad.
Dengan ijtihad ini, maka ajaran
berkembang, karena ajaran
Islam yang ada di dalam dua sumber tersebut ada yang tidak terperinci, banyak
yang diajarkan secara garis besar atau global. Masalah-masalah yang berkembang
kemudian yang tidak secara terang disebut di dalam dua sumber itu di dapatkan
dengan cara ijtihad.
Dengan demikian, maka ajaran Islam
selain termaktub pula di dalam penjelasan atau tafsiran-tafsiran para ulama melalui
ijtihad itu.
Hasil ijtihad selama tersebar dalam
semua bidang, bidang yang lain. Semua itu dalam bentuk buku-buku atau
kitab-kitab, ada kitab fiqih, kitab ilmu kalam, kitab akhlaq, dan lain-lain.
Sampai di sini jelaslah, bahwa ternyata ajaran Islam itu selain langsung diambil dari
Alqur`an dan Sunnah, ada yang diambil melalui ijtihad.
Bahkan kalau persoalan hidup ini berkembang dan ijtihad terus dilakukan untuk
mencari jawaban agama Islam terhadap persoalan hidup yang belum jelas
jawabannya di dalam suatu sumber yang pertama itu. Maka ajaran yang diambil
dari ijtihad ini semakin banyak.
Studi Islam dari sisi doktrinal itu
kemudian menjadi sangat luas, yaitu studi tentang ajaran Islam baik yang ada di
dalam Alqur`an maupun yang ada di dalam Sunnah serta ada yang menjadi
penjelasan kedua sember tersebut dengan melalui ijtihad.
Jadi sasaran studi Islam doktrinal
ini sangat luas. Persoalannya adalah apa yang kemudian dipelajari dari sumber
ajaran Islam itu.
B. ISLAM SEBAGAI PRODUK BUDAYA
Agama
merupakan kenyataan yang dapat dihayati. Sebagai kenyataan, berbagai aspek
perwujudan agama bermacam-macam, tergantung pada aspek yang dijadikan sasaran
studi dan tujuan yang hendak dicapai oleh orang yang melakukan studi.
Cara-cara pendekatan dalam
mempelajari agama dapat dibagi ke dalam dua golongan besar, yaitu model studi
ilmu-ilmu sosial dan model studi budaya.
Tujuan mempelajari agama Islam juga
dapat dikategorikan ke dalam dua macam, yang pertama, untuk mengetahui,
memahami, menghayati dan mengamalkan. Kedua, untuk obyek penelitian. Artinya,
kalau yang pertama berlaku khusus bagi umat Islam saja, baik yang masih awam,
atau yang sudah sarjana. Akan tetapi yang kedua berlaku umum bagi siapa saja,
termasuk sarjana-sarjana non Islam, yaitu memahami. Akan tetapi realitasnya ada
yang sekedar sebagai obyek penelitian saja.
Untuk memahami suatu agama,
khususnya Islam memang harus melalui dua model, yaitu tekstual dan konstektual.
Tekstual, artinya memahami Islam melalui wahyu yang berupa kitab suci.
Sedangkan kontekstual berarti memahami Islam lewat realita sosial, yang berupa
perilaku masyarakat yang memeluk agama bersangkutan.
Studi budaya diselenggarakan dengan
penggunaan cara-cara penelitian yang diatur oleh aturan-aturan kebudayaan yang
bersangkutan.
Kebudayaan adalah keseluruhan
pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai mahkluk sosial yang isinya
adalah perangkat-perangkat model-model pengetahuan yang secara selektif dapat
digunakan untuk memahami dan menginterprestasi lingkungan yang di hadapi, dan
untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan.[4]
Islam merupakan agama yang
diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai jalan hidup untuk meraih
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Agama islam disebut juga agama samawi.
Selain agama Islam, Yahudi dan Nasrani juga termasuk ke dalam kategori agama samawi.
Sebab keduanya merupakan agama wahyu yang diterima Nabi Musa dan Nabi Isa As
sebagai utusan Allah Swt yang menerima pewahyuan agama Yahudi dan Nasrani.
Agama wahyu bukan merupakan bagian
dari kebudayaan. Demikian pendapat Endang Saifuddin Anshari yang mengatakan
dalam suatu tulisannya bahwa:
"Agama samawi dan kebudayaan tidak saling
mencakup; pada prinsipnya yang satu tidak merupakan bagian dari yang lainnya;
masing-masing berdiri sendiri. Antara keduanya tentu saja dapat saling hubungan
dengan erat seperti kita saksikan dalam kehidupan dan penghidupan manusia
sehari-hari. Sebagaimana pula terlihat dalam hubungan erat antara suami dan
istri, yang dapat melahirkan putra, namun suami bukan merupakan bagian dari si
istri, demikian pula sebaliknya."[5]
Atas dasar pandangan tersebut, maka
agama Islam sebagai agama samawi bukan merupakan bagian dari kebudayaan
(Islam), demikian pula sebaliknya kebudayaan Islam bukan merupakan bagian dari
agama Islam. Masing-masing berdiri sendiri, namun terdapat kaitan erat antara
keduanya. Menurut Faisal Ismail, hubungan erat itu adalah bahwa Islam merupakan
dasar, asas pengendali, pemberi arah, dan sekaligus merupakan sumber
nilai-nilai budaya dalam pengembangan dan perkembangan kultural. Agama (Islam) lah
yang menjadi pengawal, pembimbing, dan pelestari seluruh rangsangan dan gerak
budaya, sehingga ia menjadi kebudayaan yang bercorak dan beridentitas Islam.[6]
Lebih jauh Faisal menjelaskan bahwa
walaupun memiliki keterkaitan, Islam dan kebudayaan merupakan dua entitas yang
berbeda, sehingga keduanya bisa dilihat dengan jelas dan tegas. Shalat misalnya
adalah unsur (ajaran) agama, selain berfungsi untuk melestarikan hubungan
manusia dengan Tuhan, juga dapat melestarikan hubungan manusia dengan manusia
juga menjadi pendorong dan penggerak bagi terciptanya kebudayaan. Untuk tempat
sholat orang membangun masjid dengan gaya arsitektur yang megah dan indah,
membuat sajadah alas untuk bersujud dengan berbagai disain, membuat tutup
kepala, pakaian, dan lain-lain. Itulah yang termasuk aspek kebudayaan.[7]
Proses interaksi Islam dengan budaya
dapat terjadi dalam dua kemungkinan. Pertama adalah Islam mewarnai,
mengubah, mengolah, dan memperbaharui budaya. Kedua, justru Islam yang
diwarnai oleh kebudayaan. Masalahnya adalah tergantung dari kekuatan dari
dua entitas kebudayaan atau entitas keislaman. Jika entitas kebudayaan yang
kuat maka akan muncul muatan-muatan lokal dalam agama, seperti Islam Jawa.
Sebaliknya, jika entitas Islam yang kuat mempengaruhi budaya maka akan muncul
kebudayaan Islam.[8]
Agama sebagai budaya, juga dapat dilihat
sebagai mekanisme kontrol, karena agama adalah pranata sosial dan gejala sosial,
yang berfungsi sebagai kontrol terhadap institusi-institusi yang ada.
Dalam kebudayaan dan peradaban
dikenal umat Islam berpegang pada kaidah:
المحافظة على
القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
Artinya: “Memelihara pada produk budaya lama yang baik dan mengambil produk budaya
baru yang lebih baik”.[9]
Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa hasil pemikiran manusia yang berupa interprestasi terhadap teks suci itu
disebut kebudayaan. Maka sistem pertahanan Islam, sistem keuangan Islam, dan
sebagainya yang timbul sebagai hasil pemikiran manusia adalah kebudayaan pula.
Kalaupun ada perbedaannya dengan kebudayaan biasa, maka perbedaan itu terletak
pada keadaan institusi-institusi kemasyarakatan dalam Islam, yang disusun atas
dasar prinsip-prinsip yang tersebut dalam Alqur`an.
C. ISLAM SEBAGAI PRODUK INTERAKSI SOSIAL
Islam sebagai sasaran studi sosial ini dimaksudkan sebagai studi
tentang Islam sebagai gejala sosial. Hal ini menyangkut keadaan masyarakat
penganut agama lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial
lainnya yang saling berkaitan.
Dengan demikian yang menjadi obyek dalam kaitan dengan Islam
sebagai sasaran studi social adalah Islam yang telah menggejala atau yang sudah
menjadi fenomena Islam. Yang menjadi fenomena adalah Islam yang sudah menjadi
dasar dari sebuah perilaku dari para pemeluknya.
M. Atho Mudzhar, menulis dalam bukunya, pendekatan Studi Islam
dalam Teori dan Praktek, bahwa ada beberapa bentuk gejala agama yang perlu
diperhatikan dalam mempelajari atau menstudi suatu agama. Pertama, scripture
atau naskah-naskah atau sumber ajaran dan simbol-simbol agama. Kedua, para
penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yaitu yang berkenaan dengan perilaku
dan penghayatan para penganutnya. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga dan
ibadat-ibadat, seperti salat, haji, puasa, perkawinan dan waris. Keempat,
alat-alat, organisasi-organisasi keagamaan tempat penganut agama berkumpul,
seperti NU dan lain-lain.[10]
Masih menurut M. Atho Mudzhar, agama sebagai gejala sosial, pada
dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama. Sosiologi agama mempelajari
hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat. Masyarakat mempengaruhi agama,
dan agama mempengaruhi masyarakat. Tetapi menurutnya, sosiologi sekarang ini mempelajari
bukan masalah timbal balik itu, melainkan lebih kepada pengaruh agama terhadap
tingkah laku masyarakat. Bagaimana agama sebagai sistem nilai mempengaruhi
masyarakat.[11]
Meskipun kecenderungan sosiologi agama beliau memberi contoh
teologi yang dibangun oleh orang-orang Syi`ah, orang-orang Khawarij,
orang-orang Sunni dan lain-lain. Teologi-teologi yang dibangun oleh para
penganut masing-masing itu tidak lepas dari pengaruh pergeseran perkembangan
masyarakat terhadap agama.
Persoalan berikutnya adalah bagaimana kita melihat masalah Islam
sebagai sasaran studi sosial. Dalam menjawab persoalan ini tentu kita berangkat
dari penggunaan ilmu yang dekat dengan ilmu kealaman, karena sesungguhnya
peristiwa-peristiwa yang terjadi mengalami keterulangan yang hampir sama atau
dekat dengan ilmu kealaman, oleh karena itu dapat diuji.
Jadi dengan demikian menstudi Islam dengan mengadakan penelitian sosial.
Penelitian social berada diantara ilmu budaya mencoba memahami gejala-gejala
yang tidak berulang tetapi dengan cara memahami keterulangan.
Sedangkan ilmu kealaman itu sendiri paradigmanya positivisme. Paradigma
positivisme dalam ilmu ini adalah sesuatu itu baru dianggap sebagai ilmu kalau
dapat diamati (observable), dapat diukur (measurable), dan dapat
dibuktikan (verifiable). Sedangkan ilmu budaya hanya dapat diamati.
Kadang-kadang tidak dapat diukur atau diverifikasi. Sedangkan ilmu sosial yang
dianggap dekat dengan ilmu kealaman berarti juga dapat diamati, diukur, dan
diverifikasi.
Melihat uraian di atas, maka jika Islam dijadikan sebagai sasaran
studi sosial, maka harus mengikuti paradigma positivisme itu, yaitu dapat
diamati gejalanya, dapat diukur, dan dapat diverifikasi.
Hanya saja sekarang ini juga berkembang penelitian kualitatif yang
tidak menggunakan paradigma positivisme. Ini berarti ilmu sosial itu dianggap
tidak dekat kepada ilmu kealaman.
Beberapa hal sebagai gejala agama yang telah disebut di atas
kemudian dapat dijadikan obyek dari kajian Islam dengan menggunakan pendekatan
ilmu sosial sebagaimana juga telah diungkap diatas.
Masalahnya tokoh agama Islam, penganut agama Islam, interaksi antar
umat beragama, dan lain-lain dapat diangkat menjadi sasaran studi Islam.
[1] John M. Echols dan
Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia 1990), 192.
[2] Ibid
[3] M. Atho’ Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 19.
Persudi Suparlan, Kebudayaan dan Pembangunan. (Jakarta: Balitbang
Agama, Departemen Agama, 1992), 85.
Endang Saifuddin Anshari. Pokok-pokok Pikiran Tentang Islam. (Bandung: C.V. Pelajar, 1996), 46.
Faisal
Ismail, Paragdima Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis (Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 1998), 43-44.
Simuh.
Islam dan Pergumulan Budaya Jawa (Jakarta: Teraju, 2003), 8.
Masyhur
Amin, Ismail S. Ahmad (ed), Dialog Pemikiran Islam dan Empirik, (Yogyakarta: LAKPESDAM, 1993), 4.