Jumat, 25 Juli 2014

Seberapa nikmat..?

"Seberapa besar energi yang  kau keluarkan untuk membaca surah Al-Fatihah?"
"Seberapa lama bacaan surah Al-Fatihah mu?"
"Seberapa nikmat engkau membaca surah Al-Fatihah?"
"Seberapa besar kualitas bacaan surah Al-Fatihahmu?"


Honestly, beberapa pertanyaan ini sering muncul untuk diri sendiri. Seiring dengan semakin dekatnya kita dengan penghujung Ramadhan 1435 H, dimana kalo teraweh di kalangan kita (biasanya) yang dikejar atau dicari adalah imam yang paling cepet bacanya dan paling cepet selesainya, bukan begitu? :D


yap, mungkin bagi kita hal ini adalah hal yang kecil dan sepele, tapi...

Mari sejenak kita renungkan Hadis Qudsi berikut ini:

قَسَمْتُ الصَّلاَةَ بَیْنِيْ وَبَیْنَ عَبْدِيْ نِصْفَیْنِ وَلِعَبْدِيْ مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِیْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي وَإِذَا قَالَ  الرَّحْمنِ الرَّحِیْمِ قَالَ اللهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي وَإِذَا قَالَ مَالِكِ یَوْمِ الدِّیْنِ قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي وقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي فَإِذَا قَالَ إِیَّاكَ نَعْبُدُ وَإِیَّاكَ نَسْتَعِیْنُ قَالَ ھذَا بَیْنِي وَبَیْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ اِھْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِیِْم صِرَاطَ الَّذِیْنَ أَنْعَمْتَ عَلَیْھِمْ غَیْرِ  الْمَغْضُوبِ عَلَیْھِمْ وَلاَ الضَّالِّیْنَ قَالَ ھذا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ

Artinya: “Aku membagi AsSholaah (AlFatihah) antara Aku dengan hambaKu menjadi 2 bagian dan bagi hambaKu ia mendapatkan yang ia minta. Jika seorang hamba mengucap:
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِیْنَ Allah berfirman : ‘HambaKu telah memujiKu’. Jika seorang hamba mengucapkan : الرَّحْمنِ الرَّحِیْمِ , Allah berfirman: ‘HambaKu telah memujiKu. Jika hambaKu mengucapkan : مَالِكِ یَوْمِ الدِّیْن , Allah berfirman: ‘HambaKu telah mengagungkan Aku’, dan kemudian Ia berkata selanjutnya : “HambaKu telah menyerahkan (urusannya) padaKu". Jika seorang hamba mengatakan : إِیَّاكَ نَعْبُدُ وَإِیَّاكَ نَسْتَعِیْنُ , Allah menjawab : "Ini adalah antara diriKu dan hambaKu, hambaKu akan mendapatkan yang ia minta". Jika seorang hamba mengatakan : اِھْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِیْم صِرَاطَ الَّذِیْنَ أَنْعَمْتَ عَلَیْھِمْ غَیْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَیْھِمْ وَلاَ الضَّالِّیْنَ Allah menjawab : "Ini adalah untuk hambaKu, dan baginya apa yang ia minta" (H.R Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dalam Shohihnya, AtTirmidzi dalam Sunannya).

Allah menjawab ucapan seseorang dengan kalimat : “hambaKu telah memujiKu” pada saat
diucapkan الْحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِیْنَ dan الرَّحْمنِ الرَّحِیْمِ . Dua kalimat tersebut mengandung pujian bagi Allah, namun ada sedikit perbedaan. Pada kalimat yang pertama : الْحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِیْنَ ( segala puji bagi Allah) pujian bagi Allah karena kebaikan perbuatan, sedangkan pada kalimat yang kedua : الرَّحْمنِ الرَّحِیْمِ (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) selain mengandung pujian karena kebaikan perbuatan juga karena kesempurnaan SifatNya.

ane ngga bilang kalo salah sih ya kalo teraweh nyarinya masjid/musholla yg imamnya cepet bacaannya, itu urusan kalian. tapi dengan pertimbangan Hadis diatas, alangkah baiknya kalo sholat kita bukan sekedar berdasar kuantitas, namun yg kita kejar adalah kualitasnya..
So, masihkah kita akan membaca surah Alfatihah ini dengan tergesa-gesa? tidakkah kita lebih baik 'menikmati' setiap ayat yang kita lantunkan, dan menghayati setiap maknanya? semoga Al-Fatihah kita semakin berkualitas, begitu pula dengan surah-surah yang lainnya, 

Selamat Idul Fitri 1435 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin. Taqabbalallahu minnaa wa minkum, kullu 'aam wa antum bikhair.

Ahmad Nuruddin :)



Minggu, 19 Januari 2014

CARA BELAJAR YANG EFEKTIF DI SEKOLAH (SEBUAH OPINI, PENGALAMAN KETIKA BELAJAR DI PONDOK) *Bagian 2

yap, apa kabar semua? semoga selalu sehat yaa..
setelah kemaren kita bahas bagian 1 (secara garis besar), mari sekarang kita masuk ke bagian 2...

B. BELAJAR SEHARI-HARI

meskipun kita udah paham secara garis besar belajar efektif itu seperti apa, tapi kalo setiap hari ngga diterapin, atau ngelakuinnya asal-asalan ya percuma dong.. dimana-mana yang namanya penuntut ilmu itu belajarnya tiap hari, setiap saat adalah pelajaran baginya.. nah, lebih spesifik lagi, gmana sih caranya belajar yang efektif sehari-hari, biar kita ngga melulu memakai SKS (Sistem Kebut Semalaman) atau bahkan SKBS (Sistem Kebut Ba'da Subuh) ? ngga mau dong kita belajar kalo cuma menjelang ujian aja, itupun mending ada yang ngerti.. 

nah, kali ini ane mau sharing pengalaman, gimana caranya belajar efektif sehari-hari..  monggo disimak yaa :)

BUAT SUASANA BELAJAR MENJADI NYAMAN. yap, suasana belajar yang nyaman akan membuat kita fokus untuk belajar, kalian akan kesulitan membaca buku dengan fokus ketika di pasar bukan? nah, kalo kita sehari-hari emang tinggalnya di lingkungan yang rame dan kurang kondusif gimana dong? sesuai dengan judulnya, dimulai dari kita sendiri, kalo kita nyari tempat yang nyaman, ngga akan ketemu kalo kita sendiri menjadi penyebab ketidaknyamanan orang lain.. 

suasana nyaman ini bisa dimulai dari hal yang sederhana, dimulai dari kondisi badan yang bersih dan seger, bukan bangun tidur dan masih ileran :D atau tempat belajar kita yang bersih.. dari dua hal tadi aja udah cukup jadi faktor utama kita semangat belajar.. tapi masih ada yang lain yang lebih penting, yaitu...

RAPIHKAN BUKU ATAU CATATAN APAPUN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PELAJARAN. buku dan tulisan yang rapih akan membuat kita nyaman untuk membaca pelajaran atau catatan, sebaliknya kalo tulisan itu berantakan, acak-acakan.. yakin sanggup bertahan lama untuk membacanya? paling juga ngantuk sendiri :D
nah kalo emang dari sananya tulisannya ngga rapi gimana? tulisan yang ngga rapi itu menandakan orang tersebut emang jarang nulis. pengalaman ane, setiap ke kelas itu hampir pasti bawa satu buku kosong buat latihan nulis, entah itu nulis abjad latin maupun arab. karena hal ini penting buat catatan dan tulisan kita sehari-hari.. 

PERSIAPKAN MATERI YANG AKAN DIPELAJARI. hal penting selanjutnya adalah menyiapkan materi sebelum belajar, baik berupa buku pelajaran, buku penunjang, buku catatan, maupun alat tulis. nah, kapan kita harus menyiapkannya? monggo disimak bagian terakhir..

BUAT JADWAL BELAJAR YANG TERATUR. Sebagai perbandingan, berikut ini adalah jadwal belajar sehari-hari saya waktu di pondok dulu:

  • 03.30 : bangun tidur
  • 03.45-04.15 : tahajjud (waktu fleksibel, sampai waktu subuh), menghafal materi pelajaran
  • 04.15-06.30 : sholat subuh & tahfidz Al-Qur'an
  • 06.30-07.20 : persiapan ke sekolah, makan & mandi
  • 07.30-11.50 : Sekolah
  • 12.00-14.25 : Sholat Dhuhur, Murojaah hafalan, Istirahat & makan
  • 14.30-15.00 : Sekolah
  • 15.00-16.00 : Sholat Ashar, Tahfidz Al-Qur'an
  • 16.00-17.00 : Olahraga
  • 17.00-17.45 : persiapan ke masjid, Tilawah
  • 17.45-18.45 : Sholat Maghrib, Murojaah hafalan
  • 18.45-19.00 : Belajar Kosakata baru bahasa asing
  • 19.00-19.25 : makan malam, mempersiapkan buku pelajaran buat esok hari
  • 19.30-20.00 : Sholat Isya, Murojaah hafalan
  • 20.00-21.30 : Belajar, Mengulang pelajaran, ngerjain tugas, dll.
  • 21.30-22.00 : persiapan hafalan buat tahfidz Al-Qur'an esok hari
  • 22.00 : Istirahat 
Nah, itu tadi jadwal saya, yang di cetak tebal adalah jadwal pribadi. semoga bisa menjadi perbandingan, bahwa belajar sehari-hari itu perlu ketekunan, keuletan, keterampilan, dan keistiqomahan. semoga bermanfaat :)

*Bagian 3 : keterampilan yang perlu diasah oleh penuntut ilmu

Rabu, 15 Januari 2014

CARA BELAJAR YANG EFEKTIF DI SEKOLAH (SEBUAH OPINI, PENGALAMAN KETIKA BELAJAR DI PONDOK) *Bagian 1



Well, kalian pernah ngerasa sulit mencerna materi yang disampaikan oleh guru di kelas? Atau buat yang kuliah susah memahami materi dosen, atau bingung ngerjain tugas? Monggo disimak, berikut ini sedikit pengalaman ane ketika belajar, semoga bisa membantu :) 

A. SECARA GARIS BESAR

Secara garis besar, ketika belajar setidaknya ada dua hal yang perlu kita lakukan, yaitu:

PAHAMI KONDISI. Kenapa harus memahami kondisi dulu? Ya, kondisi yang dimaksud disini adalah, ibarat mau perang, kita harus menguasai medan perang terlebih dahulu, paling tidak harus tau tempat kita berperang itu seperti apa. Ibarat membaca buku, yang dilihat pertama setelah sinopsis adalah daftar isi, dari kedua hal itu kita bisa menebak isi dari suatu buku tersebut.


Begitu juga dengan belajar, maka kita harus tahu materi apa saja yang akan kita pelajari selama kurun waktu tertentu (ex: satu semester) dimulai dari kurun waktu yang terpanjang, sampe kurun waktu terpendek. Karena dengan memahami kondisi ini, kita bisa tau tantangan apa yang akan kita hadapi nanti, dan kita bisa menyiapkan strategi untuk menghadapinya.

MIND MAPPING. Yap, selanjutnya kalo kita udah memahami kondisi kita, udah tau apa aja yang akan dipelajari, maka dari setiap pelajaran itu kita bikin mind mapping atau pemetaan pikiran.
Apa tuh pemetaan pikiran? Yang dimaksud pemetaan pikiran disini, ketika kita ingin memahami suatu materi, maka kita harus membuat atau memiliki peta rumusan masalah, ibarat dalam perang, kita harus punya peta medan perang, beegitu pula dalam belajar ini. bisa dalam bentuk bagan, atau bisa juga dalam bentuk catatan kalimat-kalimat utama.

Kalau menurut saya pribadi, dua-duanya penting. Dalam bentuk bagan, akan berguna untuk pertama kali mulai belajar, karena kita bisa memetakan materi apa saja yang akan kita pelajari. Kemudian setelah jadi peta materi tadi, maka selanjutnya kita tulis kalimat-kalimat utama yang berhubungan dengan ‘kata kunci’ yang terdapat di bagan tadi. Hal ini berguna ketika kita akan menghadapi ujian, latihan, atau bahkan ketika mengulang materi yang sudah dijelaskan. Dua hal tadi, bagan dan penjelasan dari kata kunci dalam bagan, `dapat mempermudah kita dalam menjelaskan ulang penjelasan guru/dosen di kelas, dan lebih mudah dihafalkan.

 (Bagian B : Belajar Sehari-hari, bisa disimak di bagian 2)

Sabtu, 11 Januari 2014

TAS’IR (PEMATOKAN HARGA) *repost

Saat ini harga-harga tambah meroket. Apakah pemerintah harus memberlakukan "pematokan harga"?
Inilah yang akan kita bahas saat ini
Pematokan harga dalam Islam istilahnya adalah "tas'ir"
Malam ini kita akan membahas tentang TAS'IR


Baik. Kita mulai ya. Bismillah....

Tas’îr bentuk mashdar dari sa’’ara–yusa’’iru–tas’îr[an]. Ibn Manzhur menyebutkan di dalam Lisan al-‘Arab: as’arû wa sa’’arû (dengan huruf ‘ayn di-tasydid) maknanya sama yaitu mereka bersepakat atas harga. Ia menambahkan: at-tas’îr tahdîd as-si’ri (tas’îr adalah pembatasan/ pematokan harga).

Secara istilah, di dalam Mawsû’ah Fiqhiyah al-Kuwaitiyah disebutkan, tas’ir adalah pematokan harga untuk masyarakat oleh penguasa atau wakilnya, lalu masyarakat dipaksa berjual-beli dengan harga yang ditetapkan itu.

Imam asy-Syaukani dalam Nayl al-Awthar bab an-Nahyu ‘an at-Tas’îr menyebutkan, tas’ir adalah penguasa, wakilnya atau setiap orang yang menangani urusan kaum Muslim memerintahkan pelaku pasar untuk tidak menjual dagangan mereka kecuali dengan harga sekian, dan dilarang menambah atau mengurangi kecuali karena suatu kemaslahatan.

Praktik Tas’ir
Tas’ir adalah pematokan harga, bisa juga berupa kesepakatan atas harga tertentu. Pematokan atau pembatasan harga biasanya dilakukan oleh penguasa melalui departemen/instansi terkait.

Dalam praktik, pembatasan harga itu dalam dua bentuk. Pertama: pematokan harga maksimum/harga tertinggi, yaitu dengan mematok harga tertinggi; penjual tidak boleh menjual dengan harga yang lebih tinggi. Ini biasanya untuk melindungi konsumen dari eksploitasi oleh penjual. Kedua: pematokan harga minimum/harga terendah, yaitu dengan mematok harga terendah; pedagang dilarang membeli dengan harga yang lebih rendah. Biasanya ini untuk melindungi produsen. Contoh: penetapan harga terendah gabah. Harga yang dimaksud bukan hanya harga barang, tetapi juga sewa dan upah sebab sewa adalah harga manfaat barang dan upah adalah harga jasa tenaga manusia. Jadi penetapan UMR/UMK juga termasuk pematokan harga.

Memang biasanya pematokan harga baik minimum atau maksimum itu dilakukan oleh pemerintah melalui departemen atau lembaga terkait. Itulah yang lebih banyak terjadi sehingga secara istilah para ulama mendefiniskan tas’ir seperti itu. Namun, pematokan harga itu juga bisa dilakukan oleh para pelaku pasar; misalnya oleh para produsen, penjual, pedagang, pembeli atau para konsumen melalui perkumpulan atau asosiasi mereka. Mereka bersepakat membatasi harga penjualan atau harga pembelian, bisa dengan harga tertentu, harga terendah atau harga tertinggi, karena alasan tertentu untuk kepentingan mereka.
 
Hukum Tas’ir
Pada masa Rasulullah saw. pernah terjadi harga-harga membubung dan masyarakat meminta agar beliau melakukan tas’ir. Anas ra. menceritakan:
غَلا السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ الله فَقَالُوا يَا رَسُولَ الله سَعِّرْ لَنَا. فَقَالَ إِنَّ الله هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ وَإِنىِّ لأَرْجُو أَنْ أَلْقَى رَبِّى وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِى بِمَظْلَمَةٍ فِى دَمٍ وَلا مَالٍ
Harga meroket pada masa Rasulullah saw. Lalu mereka (para Sahabat) berkata, “Ya Rasulullah, patoklah harga untuk kami.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allahlah Yang Maha Menentukan Harga, Maha Menggenggam, Maha Melapangkan dan Maha Pemberi Rezeki; sementara aku sungguh ingin menjumpai Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntut aku karena kezaliman dalam hal darah dan harta (HR at-Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Dawud, ad-Darimi dan Ahmad).

Abu Hurairah ra. juga menuturkan:
أَنَّ رَجُلاً جَاءَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ سَعِّرْ. فَقَالَ: بَلْ أَدْعُو. ثُمَّ جَاءَه رَجُلٌ فقَالَ: يَا رَسُولَ الله سَعِّرْ. فَقَالَ: بَلِ اللهُ يَخْفِضُ وَيَرْفَعُ وَإِنىِّ لأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللهَ وَلَيْسَ لأحَدٍ عِنْدِى مَظْلَمَةٌ
Seorang laki-laki datang dan berkata, “Ya Rasulullah, patoklah harga.” Beliau menjawab, “Akan tetapi, aku akan berdoa (agar harga turun).” Kemudian datang lagi seorang laki-laki dan berkata, “Ya Rasulullah, patoklah harga.” Beliau bersabda, “Akan tetapi, Allahlah Yang menurunkan dan menaikkan (harga). Sungguh, aku berharap menjumpai Allah, sementara tidak ada seorang pun yang memiliki (tuntutan) kezaliman kepada aku (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Dalam hadis Anas ra. jelas dinyatakan kondisi saat harga naik drastis, lalu masyarakat meminta agar Rasulullah saw. sebagai kepala negara mematok harga. Namun, Rasul saw dengan jelas menolaknya. Alasannya, karena beliau tidak mau dituntut di akhirat karena kezaliman.
Di sini jelas, Rasul menilai pematokan harga itu sebagai kezaliman, sementara kezaliman itu jelas haram. Dengan demikian pematokan harga itu hukumnya sama dengan kezaliman, yaitu haram.

Hadis Abu Hurairah ra. juga menunjukkan, ada orang datang meminta Rasul mematok harga, tetapi beliau menolak. Lalu datang orang lain meminta hal yang sama dan beliau tetap menolak. Beliau beralasan bahwa pematokan harga itu merupakan kezaliman. Beliau tetap menolak mematok harga padahal situasi pasar harga sedang meroket dan masyarakat meminta harga dipatok. Hal itu menegaskan keharaman pematokan harga itu.

Pengarang ‘Awn al-Ma’bud dan Imam asy-Syaukani dalam Nayl al-Awthar menjelaskan, “Itu merupakan kezaliman sebab masyarakat dikontrol atas harta mereka, dan pematokan harga itu berarti hijir terhadap mereka. Imam itu diperintahkan untuk memelihara kemaslahatan kaum Muslim, sementara perhatian kepada kemaslahatan pembeli dengan menurunkan harga tidak lebih utama daripada perhatian kepada kemaslahatan penjual dengan menyediakan harga yang wajar.” Memaksa pemilik barang untuk menjual dengan harga yang tidak ia sukai itu bertentangan dengan firman Allah QS an-Nisa’ [4]: 29.

Keharaman itu tidak dibatasi dalam kondisi wajar saja, namun juga berlaku pada waktu harga melambung. Sebab, di dalam hadis di atas jelas dinyatakan bahwa harga membubung, dan ternyata Rasul tetap menolak untuk mematok harga.

Jika mematok harga itu haram, lalu bagaimana negara bisa mengendalikan harga sehingga tidak merugikan baik penjual maupun pembeli? Negara bisa mengontrol harga dengan dua cara. Pertama: memastikan mekanisme pasar berjalan dengan sehat dan baik. Kuncinya adalah penegakan hukum ekonomi dan transaksi khususnya terkait dengan produksi, distribusi, perdagangan dan transaksi; juga dengan melarang dan menghilangkan semua distorsi pasar seperti penimbunan, penaikan atau penurunan harga yang tidak wajar untuk merusak pasar; meminimalkan informasi asimetris dengan menyediakan dan meng-up-date informasi tentang pasar, stok, perkembangan harga, dsb; pelaksanaan fungsi qadhi hisbah secara aktif dan efektif dalam memonitor transaksi di pasar; dan sebagainya.

Kedua: mengontrol penawaran dan permintaan dengan dua cara: (1) mengatur kontinuitas dan kelancaran produksi seperti dengan memberi asistensi dan berbagai bentuk bantuan kepada para produsen dan petani serta menjamin kelancaran transportasi dan iklim usaha yang kondusif; (2) dengan menyerap barang pada saat kelebihan penawaran (over supply) dengan cara membelinya dan menyimpannya di gudang dan sebaliknya memasok barang ke pasar saat kelangkaan (under supply) dengan mengeluarkan barang ke pasar dari gudang atau mendatangkan barang dari daerah yang surplus. Untuk itu negara perlu membentuk lembaga yang menjalankan fungsi ini (seperti Bulog). Cara ini seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab pada saat tahun paceklik (‘amm ar-ramadah) melanda Hijaz sehingga harga pangan melambung. Khalifah Umar tidak mematok harga, tetapi mendatangkan barang dari Syam dan memerintahkan Amru bin al-‘Ash wali Mesir untuk mengirimkan barang dari Mesir ke Hijaz. Dengan itu krisis pangan bisa diatasi tanpa harus mematok harga.

Dalam konteks ini negara juga harus melarang perserikatan/asosiasi produsen, konsumen atau pedagang melakukan kesepakatan, kolusi atau persekongkolan untuk mengatur dan mengendalikan harga atau perdagangan, misalnya membuat kesepakatan harga jual minimal. Hal itu berdasarkan sabda Rasul saw:

مَنْ دَخَلَ فِى شَىْءٍ مِنْ أَسْعَارِ الْمُسْلِمِينَ لِيُغْلِيَهُ عَلَيْهِمْ فَإِنَّ حَقًا عَلَى اللهِ أَنْ يُقْعِدَهُ بِعُظْمٍ مِنَ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Siapa saja yang turut campur (melakukan intervensi) atas harga-harga kaum Muslim untuk menaikkan haga atas mereka, maka adalah hak Allah untuk mendudukkannya di tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak (HR Ahmad, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).

Dalam hadis ini terdapat ‘illat, yaitu untuk memahalkan harga atas masyarakat. Maka dari itu, apa saja yang di situ ada unsur untuk memahalkan harga maka tercakup dalam ancaman hadis ini.

Kadangkala para produsen, penjual, pedagang, pembeli, profesi atau penyedia jasa tertentu, dsb berkumpul atau berasosiasi untuk menyepakati batas harga/sewa/upah tertentu; menghalangi harga yang lebih rendah atau lebih tinggi dari batas yang mereka sepakati; atau mengatur harga secara tak langsung dengan membagi kuota di antara mereka. Hal itu berpotensi besar memahalkan harga bagi masyarakat, dan itu jelas tercakup dalam ancaman hadis ini. Karena itu, dalam konteks seperti ini, perkumpulan atau asosiasi itu berpotensi besar menjadi wasilah ke arah keharaman sehingga hukumnya haram. Negara harus melarang perkumpulan atau asosiasi seperti itu.
Wallahu a’lam.

 

Islam sebagai Doktrin, Produk Budaya, dan Produk Interaksi Sosial (Makalah Pengantar Studi Islam)


A. ISLAM SEBAGAI DOKTRIN
Kata doktrin berasal dari bahasa Inggris doctrine yang berarti ajaran.[1] Dari kata doctrine itu kemudian dibentuk kata doktrina, yang berarti yang berkenaan dengan ajaran atau bersifat ajaran.
Selain kata doctrine sebgaimana disebut diatas, terdapat kata doctrinaire yang berarti yang bersifat teoritis yang tidak praktis. Contoh dalam hal ini misalnya doctrainare ideas ini berrati gagasan yang tidak praktis.[2]
Studi doktrinal ini berarti studi yang berkenaan dengan ajaran atau studi tentang sesuatu yang bersifat teoritis dalam arti tidak praktis. Mengapa tidak praktis? Jawabannya adalah karena ajaran itu belum menjadi sesuatu bagi seseorang yang dijadikan dasar dalam berbuat atau mengerjakan sesuatu.
Uraian ini berkenaan dengan Islam sebagai sasaran atau obyek studi doktrinal tersebut. Ini berarti dalam studi doktrinal yang di maksud adalah studi tentang ajaran Islam atau studi Islam dari sisi teori-teori yang dikemukakan oleh Islam.
Islam didefinisikan oleh sebagian ulama sebagai berikut:
الإسلام وحي إلاهي أنزل إلى نبي محمد صلى الله عليه وسلم لسعادة الدنيا والأخرة
(Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat).[3]
Berdasarkan pada definisi Islam sebagaimana dikemukakan di atas, maka inti dari Islam adalah wahyu. Sedangkan wahyu yang dimaksud di atas adalah Alqur`an dan Sunnah. Alqur`an yang kita sekarang dalam bentuk mushaf yang terdiri tiga puluh juz, mulai dari surah al-Fatihah dan berakhir dengan surah al-Nas, yang jumlahnya 114 surah.
Sedangkan Sunnah telah terkodifikasi sejak tahun tiga ratus hijrah. Sekarang ini kalau kita ingin lihat Sunnah atau Hadis, kita dapat lihat di berbagai kitab hadis. Misalnya kitab hadis Muslim yang disusun oleh Imam Muslim, kitab hadis Shahih Bukhari yang ditulis Imam al-Bukhari, dan lain-lain.
Dari kedua sumber itulah, Alqur`an dan Sunnah, ajaran Islam diambil. Namun meski kita mempunyai dua sumber, sebagaimana disebut diatas, ternyata dalam realitasnya, ajaran Islam yang digali dari dua sumber tersebut memerlukan keterlibatan tersebut dalam bentuk ijtihad.
Dengan ijtihad ini, maka ajaran berkembang, karena ajaran Islam yang ada di dalam dua sumber tersebut ada yang tidak terperinci, banyak yang diajarkan secara garis besar atau global. Masalah-masalah yang berkembang kemudian yang tidak secara terang disebut di dalam dua sumber itu di dapatkan dengan cara ijtihad.
Dengan demikian, maka ajaran Islam selain termaktub pula di dalam penjelasan atau tafsiran-tafsiran para ulama melalui ijtihad itu.
Hasil ijtihad selama tersebar dalam semua bidang, bidang yang lain. Semua itu dalam bentuk buku-buku atau kitab-kitab, ada kitab fiqih, kitab ilmu kalam, kitab akhlaq, dan lain-lain.
Sampai di sini jelaslah, bahwa ternyata ajaran Islam itu selain langsung diambil dari Alqur`an dan Sunnah, ada yang diambil melalui ijtihad. Bahkan kalau persoalan hidup ini berkembang dan ijtihad terus dilakukan untuk mencari jawaban agama Islam terhadap persoalan hidup yang belum jelas jawabannya di dalam suatu sumber yang pertama itu. Maka ajaran yang diambil dari ijtihad ini semakin banyak.
Studi Islam dari sisi doktrinal itu kemudian menjadi sangat luas, yaitu studi tentang ajaran Islam baik yang ada di dalam Alqur`an maupun yang ada di dalam Sunnah serta ada yang menjadi penjelasan kedua sember tersebut dengan melalui ijtihad.
Jadi sasaran studi Islam doktrinal ini sangat luas. Persoalannya adalah apa yang kemudian dipelajari dari sumber ajaran Islam itu. 
B. ISLAM SEBAGAI PRODUK BUDAYA
Agama merupakan kenyataan yang dapat dihayati. Sebagai kenyataan, berbagai aspek perwujudan agama bermacam-macam, tergantung pada aspek yang dijadikan sasaran studi dan tujuan yang hendak dicapai oleh orang yang melakukan studi.
Cara-cara pendekatan dalam mempelajari agama dapat dibagi ke dalam dua golongan besar, yaitu model studi ilmu-ilmu sosial dan model studi budaya.
Tujuan mempelajari agama Islam juga dapat dikategorikan ke dalam dua macam, yang pertama, untuk mengetahui, memahami, menghayati dan mengamalkan. Kedua, untuk obyek penelitian. Artinya, kalau yang pertama berlaku khusus bagi umat Islam saja, baik yang masih awam, atau yang sudah sarjana. Akan tetapi yang kedua berlaku umum bagi siapa saja, termasuk sarjana-sarjana non Islam, yaitu memahami. Akan tetapi realitasnya ada yang sekedar sebagai obyek penelitian saja.
Untuk memahami suatu agama, khususnya Islam memang harus melalui dua model, yaitu tekstual dan konstektual. Tekstual, artinya memahami Islam melalui wahyu yang berupa kitab suci. Sedangkan kontekstual berarti memahami Islam lewat realita sosial, yang berupa perilaku masyarakat yang memeluk agama bersangkutan.
Studi budaya diselenggarakan dengan penggunaan cara-cara penelitian yang diatur oleh aturan-aturan kebudayaan yang bersangkutan.
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai mahkluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterprestasi lingkungan yang di hadapi, dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan.[4]
Islam merupakan agama yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai jalan hidup untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Agama islam disebut juga agama samawi. Selain agama Islam, Yahudi dan Nasrani juga termasuk ke dalam kategori agama samawi. Sebab keduanya merupakan agama wahyu yang diterima Nabi Musa dan Nabi Isa As sebagai utusan Allah Swt yang menerima pewahyuan agama Yahudi dan Nasrani.
Agama wahyu bukan merupakan bagian dari kebudayaan. Demikian pendapat Endang Saifuddin Anshari yang mengatakan dalam suatu tulisannya bahwa:
"Agama samawi dan kebudayaan tidak saling mencakup; pada prinsipnya yang satu tidak merupakan bagian dari yang lainnya; masing-masing berdiri sendiri. Antara keduanya tentu saja dapat saling hubungan dengan erat seperti kita saksikan dalam kehidupan dan penghidupan manusia sehari-hari. Sebagaimana pula terlihat dalam hubungan erat antara suami dan istri, yang dapat melahirkan putra, namun suami bukan merupakan bagian dari si istri, demikian pula sebaliknya."[5]
Atas dasar pandangan tersebut, maka agama Islam sebagai agama samawi bukan merupakan bagian dari kebudayaan (Islam), demikian pula sebaliknya kebudayaan Islam bukan merupakan bagian dari agama Islam. Masing-masing berdiri sendiri, namun terdapat kaitan erat antara keduanya. Menurut Faisal Ismail, hubungan erat itu adalah bahwa Islam merupakan dasar, asas pengendali, pemberi arah, dan sekaligus merupakan sumber nilai-nilai budaya dalam pengembangan dan perkembangan kultural. Agama (Islam) lah yang menjadi pengawal, pembimbing, dan pelestari seluruh rangsangan dan gerak budaya, sehingga ia menjadi kebudayaan yang bercorak dan beridentitas Islam.[6]
Lebih jauh Faisal menjelaskan bahwa walaupun memiliki keterkaitan, Islam dan kebudayaan merupakan dua entitas yang berbeda, sehingga keduanya bisa dilihat dengan jelas dan tegas. Shalat misalnya adalah unsur (ajaran) agama, selain berfungsi untuk melestarikan hubungan manusia dengan Tuhan, juga dapat melestarikan hubungan manusia dengan manusia juga menjadi pendorong dan penggerak bagi terciptanya kebudayaan. Untuk tempat sholat orang membangun masjid dengan gaya arsitektur yang megah dan indah, membuat sajadah alas untuk bersujud dengan berbagai disain, membuat tutup kepala, pakaian, dan lain-lain. Itulah yang termasuk aspek kebudayaan.[7]
Proses interaksi Islam dengan budaya dapat terjadi dalam dua kemungkinan. Pertama adalah Islam mewarnai, mengubah, mengolah, dan memperbaharui budaya. Kedua, justru Islam yang diwarnai oleh kebudayaan. Masalahnya adalah tergantung dari kekuatan dari  dua entitas kebudayaan atau entitas keislaman. Jika entitas kebudayaan yang kuat maka akan muncul muatan-muatan lokal dalam agama, seperti Islam Jawa. Sebaliknya, jika entitas Islam yang kuat mempengaruhi budaya maka akan muncul kebudayaan Islam.[8]
Agama sebagai budaya, juga dapat dilihat sebagai mekanisme kontrol, karena agama adalah pranata sosial dan gejala sosial, yang berfungsi sebagai kontrol terhadap institusi-institusi yang ada.
Dalam kebudayaan dan peradaban dikenal umat Islam berpegang pada kaidah:
المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
Artinya: “Memelihara pada produk budaya lama yang baik dan mengambil produk budaya baru yang lebih baik”.[9]
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hasil pemikiran manusia yang berupa interprestasi terhadap teks suci itu disebut kebudayaan. Maka sistem pertahanan Islam, sistem keuangan Islam, dan sebagainya yang timbul sebagai hasil pemikiran manusia adalah kebudayaan pula. Kalaupun ada perbedaannya dengan kebudayaan biasa, maka perbedaan itu terletak pada keadaan institusi-institusi kemasyarakatan dalam Islam, yang disusun atas dasar prinsip-prinsip yang tersebut dalam Alqur`an.

C. ISLAM SEBAGAI PRODUK INTERAKSI SOSIAL
Islam sebagai sasaran studi sosial ini dimaksudkan sebagai studi tentang Islam sebagai gejala sosial. Hal ini menyangkut keadaan masyarakat penganut agama lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.
Dengan demikian yang menjadi obyek dalam kaitan dengan Islam sebagai sasaran studi social adalah Islam yang telah menggejala atau yang sudah menjadi fenomena Islam. Yang menjadi fenomena adalah Islam yang sudah menjadi dasar dari sebuah perilaku dari para pemeluknya.
M. Atho Mudzhar, menulis dalam bukunya, pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, bahwa ada beberapa bentuk gejala agama yang perlu diperhatikan dalam mempelajari atau menstudi suatu agama. Pertama, scripture atau naskah-naskah atau sumber ajaran dan simbol-simbol agama. Kedua, para penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yaitu yang berkenaan dengan perilaku dan penghayatan para penganutnya. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-ibadat, seperti salat, haji, puasa, perkawinan dan waris. Keempat, alat-alat, organisasi-organisasi keagamaan tempat penganut agama berkumpul, seperti NU dan lain-lain.[10]
Masih menurut M. Atho Mudzhar, agama sebagai gejala sosial, pada dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama. Sosiologi agama mempelajari hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat. Masyarakat mempengaruhi agama, dan agama mempengaruhi masyarakat. Tetapi menurutnya, sosiologi sekarang ini mempelajari bukan masalah timbal balik itu, melainkan lebih kepada pengaruh agama terhadap tingkah laku masyarakat. Bagaimana agama sebagai sistem nilai mempengaruhi masyarakat.[11]
Meskipun kecenderungan sosiologi agama beliau memberi contoh teologi yang dibangun oleh orang-orang Syi`ah, orang-orang Khawarij, orang-orang Sunni dan lain-lain. Teologi-teologi yang dibangun oleh para penganut masing-masing itu tidak lepas dari pengaruh pergeseran perkembangan masyarakat terhadap agama.
Persoalan berikutnya adalah bagaimana kita melihat masalah Islam sebagai sasaran studi sosial. Dalam menjawab persoalan ini tentu kita berangkat dari penggunaan ilmu yang dekat dengan ilmu kealaman, karena sesungguhnya peristiwa-peristiwa yang terjadi mengalami keterulangan yang hampir sama atau dekat dengan ilmu kealaman, oleh karena itu dapat diuji.
Jadi dengan demikian menstudi Islam dengan mengadakan penelitian sosial. Penelitian social berada diantara ilmu budaya mencoba memahami gejala-gejala yang tidak berulang tetapi dengan cara memahami keterulangan.
Sedangkan ilmu kealaman itu sendiri paradigmanya positivisme. Paradigma positivisme dalam ilmu ini adalah sesuatu itu baru dianggap sebagai ilmu kalau dapat diamati (observable), dapat diukur (measurable), dan dapat dibuktikan (verifiable). Sedangkan ilmu budaya hanya dapat diamati. Kadang-kadang tidak dapat diukur atau diverifikasi. Sedangkan ilmu sosial yang dianggap dekat dengan ilmu kealaman berarti juga dapat diamati, diukur, dan diverifikasi.
Melihat uraian di atas, maka jika Islam dijadikan sebagai sasaran studi sosial, maka harus mengikuti paradigma positivisme itu, yaitu dapat diamati gejalanya, dapat diukur, dan dapat diverifikasi.
Hanya saja sekarang ini juga berkembang penelitian kualitatif yang tidak menggunakan paradigma positivisme. Ini berarti ilmu sosial itu dianggap tidak dekat kepada ilmu kealaman.
Beberapa hal sebagai gejala agama yang telah disebut di atas kemudian dapat dijadikan obyek dari kajian Islam dengan menggunakan pendekatan ilmu sosial sebagaimana juga telah diungkap diatas.
Masalahnya tokoh agama Islam, penganut agama Islam, interaksi antar umat beragama, dan lain-lain dapat diangkat menjadi sasaran studi Islam.


[1] John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia 1990), 192.
[2] Ibid


[3] M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 19.
[4] Persudi Suparlan, Kebudayaan dan Pembangunan. (Jakarta: Balitbang Agama, Departemen Agama, 1992), 85.
[5] Endang Saifuddin Anshari. Pokok-pokok Pikiran Tentang Islam. (Bandung: C.V. Pelajar, 1996), 46.
[6] Faisal Ismail, Paragdima Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), 43-44.
[7] Ibid
[8] Simuh. Islam dan Pergumulan Budaya Jawa (Jakarta: Teraju, 2003), 8.
[9] Masyhur Amin, Ismail S. Ahmad (ed), Dialog Pemikiran Islam dan Empirik, (Yogyakarta:  LAKPESDAM, 1993), 4.